Wednesday, August 13, 2014

That Flower.

        Malam kemarin merupakan malam yang panjang dan tak luput dari tetesan makna bagi gw dan mungkin dia yang ada di sebelah sana. Sedikit satu atau dua patah kata yang gw ucapkan terasa begitu sangat sensitif, dalam, intim, dan mengeruk apa-apa saja yang ada di dalam pikiran gw. Well, it's not that weird what you think about it, but im feeling so melancholic last night. That night, was the worth night for me. I didn't know what happened, but it is let me to put some words that she will never forget it, I hope so..

        You said you were talking about regret, sorrow and anythings about it, and you had a remors from that. So let me repeat over and over again for you, then you can plant some of them in self

     Gw tersentuh ketika mendapatkan cerita analogi dari seorang teman tentang kegundahan seseorang dalam hidupnya. Everythings. Lu tau cerita tentang seseorang yang diberikan kesempatan untuk jalan lurus disebuah taman dan mengambil setangkai bunga yang menurutnya paling baik untuk dia miliki dalam hidupnya? Mungkin sebagian besar orang udah pernah mendengar cerita ini berulang kali, begitu juga dengan gw. Tapi cerita ini bukan sekedar cerita fiksi bagi gw, cerita ini punya makna yang amat sangat dalam. Dan gw harap semua orang di luar sana tahu betul apa makna dari cerita ini. And, let me to tell you a story from the heart..

--------------------------------

         Kisah di sebuah taman yang sangat luas. Dua orang duduk berdampingan. Satu di antaranya adalah tetua penasihat yang sangat bijak, a wiseman to be. Dan di sebelahnya, bersandar anak dari seorang pengolah ladang yang memiliki impian sangat tinggi. Seorang anak yang memiliki pengetahuan luas akan bunga dan segala jenis tanaman. Seorang anak biasa, menjalani kehidupannya penuh dengan lika liku kehidupan, kebahagiaan, kegalauan hidup, dengan impian-impian nya yang tinggi. Seorang anak yang sedang beranjak dewasa. Itu kata yang tepat untuk seorang anak yang sedang menyandarkan punggungnya pada sebuah bangku. Seorang anak paruh baya yang akan menentukan jalan pilihan hidup. Hidup untuk mati atau mati untuk hidup. Anak itu bertanya-tanya kepada seorang penasihat di sebelahnya, "Yang mulia, bagaimana aku bisa menentukan jalan hidupku? Aku merasa sudah cukup umur, tapi tak kunjung dewasa."

        Seorang penasihat tertegun. Melihat raut muka sang anak melontarkan pertanyaan tersebut, ia iba bagaimana seorang yang sedang beranjak dewasa tak dapat menentukan hidupnya. Penasihat tersebut melihat kegundahan yang ada di dalam seorang anak itu. Hanya ada kegelisahan dan kegelisahan memenuhi hatinya. Sampai - sampai belenggu pun tak dapat keluar dari lingkarannya. Kemudian penasihat itu berdiri, menyimpulkan tangannya di belakang, dan berjalan di pinggiran taman, sambil berkata, "Kemarilah nak, akan kutunjukkan sesuatu kepadamu." Anak itu bingung, akan kemana ia dibawanya pergi. Lalu mereka berjalan berdampingan di pinggir sepanjang bentangan taman. Sampai akhirnya mereka sampai di sebuah gerbang kecil taman tersebut.

            "Inilah gerbang kehidupan mu, nak." Penasihat melontarkan senyum kepada anak tersebut.

        Anak itu bingung kembali, bertanya kepada sang penasihat, "Apakah aku harus mengikuti jejak terdahuluku? Mengolah ladang?" "Bukan itu yang aku inginkan, nak." jawab sang penasihat. Lalu penasihat berjubah hitam itu terdiam, kemudian mengatakan apa yang sebenarnya ia inginkan pada anak tersebut.

         "Lihat di depan matamu. Ada sangat banyak bunga yang tumbuh dengan subur dari dalam tanah, wanginya sangat harum, semerbak hingga engkau akan lupa dengan dunia mu sendiri. Masuklah ke dalam taman, berjalanlah sampai menuju gerbang yang satunya lagi di ujung taman. Jangan pernah berbalik. Dan jangan lupa, ambil satu bunga untukku, yang menurut hatimu itu yang terbaik. Ingat, jangan pernah berbalik."

            Hal itu terlihat mudah saja bagi seorang anak yang sedang beranjak dewasa, dengan nafsunya yang sangat tinggi dan menggebu-gebu, dia akan segera masuk ke dalam taman, dan memetik bunga yang menurutnya bagus untuk dirinya. Hanya jalan setapak yang dia lihat sepanjang mata memandang ke depan, ini akan mudah baginya untuk memetik bunga yang indah, pikirnya.

             Belum genap 6 meter melangkahkan kaki, matanya langsung tertuju pada satu bunga yang berada di sembulan bunga lainnya. Bunga itu tak begitu mencolok, warnanya tak begitu menarik, wanginya tak begitu harum, tetapi dia tumbuh dengan subur dan alami di antara bunga lainnya. Lalu anak tersebut memalingkan matanya kembali ke depan dan melanjutkan perjalanan. Pikirnya, bunga itu bukanlah bunga terbaik untuknya, mungkin masih ada buga yang lebih indah dan bagus di depan sana. Sepanjang perjalanan dia begitu resah tidak mendapatkan bunga yang terbaik untuknya. Hingga sampai akhir perjalanan menuju gerbang keluar, ia menemukan bunga yang sangat mencolok, warnanya indah, wanginya sangat harum, kelopaknya sangat indah, membuat dirinya ingin sekali memetik bunga itu. Dan akhirnya, tanpa berpikir panjang, ia memetik bunga tersebut dan keluar dari gerbang menemui sang penasihat sambil menciumi harum bunga tersebut.

            Sambil terlonjak-lonjak ia berikan bunga terbaiknya untuk sang penasihat. Tapi tak lama kemudian matanya terbelalak dan kaget. Bunga yang ia bawa tadi ternyata telah layu. Tangkainya berlumuran getah yang membuat kulit tangannya panas terbakar. Anak tersebut langsung membuang bunga tersebut kuat-kuat ke dasar tanah. Ia menangis kesakitan.Tangannya rusak oleh getah. Sang penasihat hanya bisa tersenyum dan berkata, "Apa yang kuminta?". "Kau bilang untuk memetik bunga yang indah menurutku!" bentak sang anak.

       Keadaan menjadi hening dengan rintihan kesakitan anak itu. Lalu, sang penasihat melanjutkan pembicaraan, "Sudahkah kamu kehilangan akalmu, nak? Seberapa tanggap kau mencerna permintaanku? Aku ingin bunga yang terbaik menurut hatimu. Bukan matamu. Bukankah engkau seorang anak pengolah ladang terbaik di desamu? Engkau memiliki banyak pengetahuan mengenai jenis tanaman dan bunga. Mengapa begitu terburu - buru mengambil keputusan? Tidakkah kamu telah membodohi dirimu sendiri? Merendahkan dirimu sebagai anak pengolah ladang terbaik." matanya berbinar dengan tajam menatap sang anak. Anak itu hanya terdiam, menekukkan lututnya pada tanah, menundukkan kepala, meneteskan air mata sambil memegangi tangannya yang terbakar kesakitan.

            Sang penasihat berjalan mendekati anak itu dan merangkul pundaknya, aku memberikan engkau satu kesempatan lagi. Satu kesempatan. Dan kau tak akan melanggar permintaanku, bisiknya. Kemudian anak tersebut kembali menuju gerbang dengan teratih - tatih melangkahkan kakinya. Saat masuk ke gerbang, dia langsung mengambil bunga yang menurut hatinya indah saat pertama kali masuk tadi, kemudian jalan menuju gerbang keluar untuk menemui sang penasihat. Dia berlari-lari menuju tempat sang penasihat. Tapi tak ada satu orang pun yang dia temui di tempat itu. Hanya kekosongan yang ada. Pohon yang berdesir tersentuh hembusan angin, rumput-rumput yang menari seirama, dan harum bunga yang ia petik. Harum bunga yang kian semerbak baunya.

        Anak itu pulang dengan tergopoh - gopoh membawa bunga harum yang tumbuh dengan subur yang kini berada di tangannya. Sesampainya di rumah ia merawat bunga tersebut dalam vas bunga yang sangat cantik, hingga bunga tersebut terlihat sangat indah dan cocok berada pada vas itu.

        Keesokan harinya, ia kembali melihat tangannya, luka bekas bunga beracun tersebut telah hilang, tetapi rasa sakit yang ia rasakan tidak pernah hilang. Tidak akan pernah hilang karena kebodohannya sendiri. Ketika sore hari tiba, ia duduk kembali di bangku pinggir taman, menunggu-nunggu datangnya seroang penasihat nya sambil membawa bunga yang berada dalam vas. Berjam-jam dia menunggu dan menunggu, sampai akhirnya ia menyadari sesuatu, bahwa seorang penasihat tersebut adalah hatinya sendiri.


~Sekian.